Disiplin Motivasi: 3 Rahasia Mengendalikan Emosi

by @rezawismail

Ada satu kisah yang saya paling ingat ketika membaca buku pengembangan diri: Seseorang mengalami kecelakaan kecil di jalan raya, kendaraannya secara tidak sengaja tersenggol oleh pengendara lain. Dia merasa sangat marah dan ingin memukul orang yang menyenggol kendaraannya. Namun, ketika dia melihat orang itu keluar dari kendaraan dengan senyum dan permintaan maaf yang tulus disertai perhatian, emosinya luruh dan dia tidak jadi marah. 

Saya pikir, kisah itu adalah tentang kekuatan dari senyuman. Tapi ternyata setelah saya renungkan, cerita ini sebenarnya adalah tentang pengendalian emosi. Kisah ini diceritakan dari sudut pandang seseorang yang marah dan berniat melakukan kekerasan. Bukan dari sudut pandang orang yang tersenyum, jadi ini bukan kisah tentang kekuatan senyuman. 

Walaupun begitu, sebuah senyum yang tulus memang memiliki kekuatan. Tapi akan saya tulis dalam postingan saya yang lain saja. Hahaha!

Kembali kepada cerita saya, emosi pada seseorang bisa menutup pikiran rasional dan membuat orang melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan konsekuensi negatif. Misalnya seperti kasus orang yang marah sampai melakukan kekerasan, melukai orang lain, bahkan banyak pembunuhan bermotifkan emosi. Kecuali pada orang-orang psikopat dan kelainan jiwa lainnya. Banyak kejahatan terjadi karena latar belakang emosi seperti marah, walaupun bisa juga emosi seperti rakus yang mendorong pencurian serta korupsi, kecemburuan yang mendorong orang untuk menyakiti pasangannya, Dan berbagai emosi negatif lainnya. Emosi juga bisa menghambat produktivitas dengan melemahkan motivasi, seperti pada kasus orang yang depresi, sedih, takut atau sekedar malas.

Jika saja banyak orang bisa mengendalikan emosinya, maka masyarakat yang adil makmur sejahtera bisa terwujud. Sayangnya, banyak dari kita yang ketika sedang emosi malah tak terkendali dan termotivasi untuk melakukan hal-hal yang kurang baik. 


Dalam teori psikologi, ini disebut sebagai pembajakan Amygdala. Amygdala terdapat di otak area tengah, dan mengendalikan sistem Limbik. Daniel Goleman menyebutkan di bukunya, Emotional Intelligence, bahwa manusia modern berpikir lewat jalur atas/depan atau berpikir panjang dengan otak bagian depan Neo-Prefrontal Korteks yang merupakan otak rasional. Namun, jika seseorang sedang dalam keadaan emosi tinggi, jalur panjang ini terhambat dan diambil alih oleh jalur rendah/tengah/bawah atau berpikir pendek yaitu otak emosional. 

Misalnya pada kasus orang yang melakukan gerak refleks, yaitu tindakan yang dilakukan dengan cepat sebagai reaksi terhadap emosi tanpa berpikir logis. Contohnya, orang yang langsung lompat berenang untuk menyelamatkan anaknya yang jatuh ke sungai, tanpa berpikir apakah sungai itu dalam atau deras, atau apakah dia bisa berenang!

Kesuksesan kita akan banyak ditentukan oleh disiplin dan melakukan tindakan-tindakan yang rasional. Kalaupun ada perbuatan kita yang didasari oleh emosi, maka sebaiknya emosi itu merupakan emosi yang positif seperti rasa empati, kasih-sayang, dan motivasi yang berdasarkan gairah untuk mencapai tujuan. Sehingga kita bisa berdisiplin, dan konsisten untuk dapat meraih kesuksesan. 

Kebahagiaan kita juga banyak dipengaruhi oleh interaksi kita dengan orang lain dan alam pikiran sendiri. Banyak konflik dengan orang lain dan diri sendiri yang bisa mengurangi kebahagiaan pribadi. Maka dari itu, emosi negatif harus bisa dikendalikan dan emosi positif mesti mampu ditumbuh-kembangkan. 

Caranya adalah dengan membangun kesadaran. Langkah pertama yang sederhana tapi penting, adalah menyadari ketika timbul emosi dalam hati. Baik itu dari diri sendiri atau mengenali emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain. 

Pada awalnya memang sulit untuk mengendalikan diri saat emosi, tapi kita bisa belajar untuk menyadari bahwa diri kita memang sedang mengalami suatu emosi. Kita bisa mencoba melabeli emosi, memberikannya nama, atau sekedar merasakan keberadaannya. Selanjutnya kita bisa lihat tahap-tahap emosi itu membentuk suatu motivasi untuk melakukan sesuatu. Misalnya ketika kita marah rasanya otomatis kita ingin mengungkapkan amarah itu pada seseorang. 

Cara untuk melatih kesadaran akan sesuatu tahapan otomatis dari emosi ke motivasi bertindak adalah dengan meditasi nafas. Nafas adalah sesuatu yang otomatis, namun jika kita bisa menyadarinya, kita akan mampu untuk mengendalikan nafas itu. Nafas yang otomatis bisa kita kontrol, misalnya ditahan atau dilambatkan, dipercepat, dan sebagainya. 

Paul Ekman, seorang pakar peneliti emosi, mengungkapkan potensi latihan kesadaran dalam bermeditasi untuk bernafas secara manual (menyadari nafas yang otomatis) bisa berkorelasi dengan peningkatan kemampuan dalam pengendalian emosi (menyadari reaksi yang otomatis timbul saat sedang emosi). Pada praktiknya: kesadaran adalah pondasi penting dari keahlian dalam mengambil alih kendali sesuatu yang biasanya berjalan otomatis (seperti nafas dan reaksi emosional).

Kesadaran adalah langkah awal dari pengendalian diri. 

Berlatihlah menyadari nafas selama sepuluh menit. Saya yakin, tidak sampai lima menit, nafas Anda akan menjadi otomatis lagi dan pikiran sudah melayang kemana-mana. Teruslah berlatih setiap hari sampai kita bisa menyadari nafas di setiap momennya dalam meditasi.

Selanjutnya kita bisa mencoba menerapkannya pada emosi kita. Setiap kita ingat, lakukanlah pengecekan terhadap emosi beberapa kali dalam sehari. Rasakan dan nilailah kadar intensitasnya. Cukup rasakan emosi yang timbul, tanpa menindaklanjuti, terima dan biarkan ada untuk beberapa waktu. 

Yang sulit adalah mengendalikan motivasi untuk bereaksi dengan aksi atau tindakan saat emosi sedang meninggi. 

Tindakan-tindakan emosional kita, seringkali dilakukan tanpa berpikir panjang. Tanpa berpikir rasional akan konsekuensinya dalam jangka panjang. Inilah yang disebut berpikir pendek. Susahnya mengendalikan emosi itu karena otak kita telah dibajak oleh Amygdala, bagian pengendali emosi. Otak rasional atau Neo-Prefrontal Korteks menjadi kurang berfungsi dan otak tengah yang emosional menjadi lebih dominan. 

Jika kita sudah bisa melatih kesadaran akan timbulnya emosi ini, kita bisa berusaha mengendalikannya. Yaitu dengan mengembalikan dominasi otak depan yang lebih rasional. Dengan cara berpikir logis. Dan ada tiga rahasia atau tips motivasi yang akan saya bagikan. 

Pertama adalah dengan berbicara, sudah alamiah memang kalau manusia sedang emosi, dia bisa meredakan emosinya dengan berbicara. Curhat sama teman istilahnya, atau konseling dengan psikolog secara profesional. Berbicara adalah aktivitas manusia modern. Manusia dengan kemampuan otak depan yang sudah berkembang. Evolusi sebagai makhluk yang berakal, yaitu berbahasa. Lebih dari sekedar komunikasi sederhana ala makhluk hidup lainnya. 

Kedua adalah dengan menulis. Ini juga aktivitas yang membedakan manusia dari hewan dan tumbuhan. Menulis merupakan kegiatan yang membutuhkan otak depan yang rasional. Banyak orang juga berhasil menyalurkan emosi dengan menulis sehingga bisa melakukan perbuatan yang lebih konstruktif, lebih dari sekedar tindakan reaktif akibat dari emosi yang meninggi. Menulis, mengurangi kadar emosi dan mentransformasikannya menjadi kreativitas. 

Ketiga dan yang paling terakhir dari tiga rahasia saya kali ini adalah berhitung. Seringkali kita tidak ada teman atau sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk berbicara. Di saat intensitas emosi memuncak, kita juga tidak memiliki alat tulis (walaupun jaman sekarang lebih mudah untuk menulis daripada curhat, karena selalu ada gadget yang siap sedia seperti smartphone yang kita selalu bawa kemana-mana) maka kita bisa mencoba berhitung. 

Berusaha menghitung ketika sedang emosi memang sulit, tapi bukan hal yang mustahil. Buat saja seirama dengan nafas, sehingga berhitung menjadi sesuatu yang alamiah dan tidak dipaksakan. Seiring waktu, teknik berhitung kita akan menjadi saklar yang menentukan kondisi hati yang emosi kepada keadaan berpikir dengan logika. 

Hati boleh panas, kepala tetap dingin. Begitulah kata-kata motivasi yang menginspirasi kita sejak dini. Kalau kita bisa mengendalikan emosi, disiplin diri menjadi mudah, dan tindakan-tindakan kita adalah berdasarkan perhitungan yang cermat. Semua dimulai dengan berhitung secara sederhana. 

Bahkan bisa secara diam-diam tanpa berkata-kata. 

Enaknya berhitung itu bisa dilakukan di dalam hati, sehingga orang lain tidak perlu tahu kalau kita sedang mencoba mengendalikan emosi dan mengembalikan kontrol pikiran kepada otak yang rasional. Berhitung dalam hati perlu berhati-hati agar tidak menjadi mekanis dan berjalan otomatis sehingga pemikiran logis tidak jua timbul. 

Berhitung logis bisa dilakukan dengan berhitung mundur dari seratus ditambah urutan sesuai pengaturan angka tertentu misalnya. Sebagai contoh, kita bisa menghitung mundur ditambah kompleksitas faktor pengurang dengan angka tiga, seperti pada sekuens: 100, 97 (100-3), 94 (97-3), 91, 88, 85, 82, 79, 76, 73, 70, dan seterusnya sampai mendekati angka nol. Ketika selesai berhitung, Anda akan menyadari kalau emosi yang tadinya cukup tinggi, menjadi berkurang kadarnya. Kalau belum terlalu signifikan, coba ulangi lalu berhitungnya. 

Kalau perlu, pada emosi-emosi yang berintensitas kuat, kita bisa mengkombinasikan ketiga tips pengendalian emosi di atas. Yaitu dengan berhitung, lalu menulis dan berbicara atau curhat lalu menuliskan segalanya di atas kertas. Setelah itu, silakan menyendiri dan menyepi di alam bebas seperti pantai dan renungi betapa luasnya dunia serta semesta yang kita tempati. 

Sebaliknya, untuk mengkultivasi emosi-emosi yang positif, kita juga bisa memanfaatkan ketiga strategi ini. Kita bisa berbicara yang positif, tidak mengeluh namun bersyukur dengan menuliskan berkah-berkah yang kita miliki serta menghitung pencapaian yang telah kita raih. 

Berhitunglah maju, satu dua tiga, lalu laksanakan disiplin untuk mengerjakan sesuatu tanpa beban emosi karena kita sudah bisa mengendalikan emosi. Itulah tips motivasi untuk beraksi!

*kisah yang saya ceritakan di awal kalau tidak salah ingat dari bukunya Dr. David J. Schwartz yang berjudul: The Magic of Thinking Big